Minggu, 16 Juli 2017

Mie Crueg Lebaran

Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran menjadi moment special bagi umat muslim di Indonesia. Moment ini dirayakan dengan kembalinya mereka ke kampung halaman masing-masing. Gak hanya untuk sekedar melepas rindu, namun moment ini juga dilengkapi dengan saling bersilahturahmi antar keluarga dan kembali memulai lembaran baru dengan hati yang bersih.

Keluarga saya pribadi memang non muslim, tapi secara tidak langsung kita sekeluarga ikut merasakan kemeriahan dan kebahagiaan dari moment Lebaran ini. Moment ini bisa dibilang, menjadi salah satu moment yang aku tunggu setiap tahunnya selain Natal. Buatku, Lebaran berarti libur panjang dan kumpul sekeluarga dengan waktu yang lebih lama dibandingkan Natal.

Selain mengisi libur Lebaran dengan berpergian bersama, sama halnya dengan umat muslim, kami juga mempunyai sebuah tradisi untuk pergi ke makam nenek buyut. Hal ini dilakukan untuk memberikan penghormatan kepada beliau yang dulunya menganut agam muslim selama hidupnya. Kami selalu berangkat pagi-pagi ke Semarang sebelum ibadah shalat ied dimulai, sehingga selesainya dari makam bertepatan dengan selesainya ibadah sholat ied. Jadi, gak ada kata macet di jalan dan desak-desakan saat di pemakaman.

Pulangnya dari makam, kami sekeluarga mempunyai kebiasaan makan mie crueg (mie jorok) yang terletak di parkiran mobil dekat pemakaman. Seharusnya, mie yang merupakan salah satu makanan khas Semarang ini dinamakan Mie Lontong, cuma karena ala ala keluargaku saja jadi berubah nama :P. Satu porsi mie crueg ini, berisi mie kuning, tahu, kecambah, lontong, krupuk gendar (kerupuk dari nasi kering), bawang goreng, dan kuah kecap. 


Enak sih memang, kalau kalian mau coba mie crueg ini bisa mencobanya di Mie Lontong Pak Dhuwur, Semarang (silahkan google), di sini mienya jauh lebih bersih, dan tempat juga lebih memadai, dari segi rasa gak jauh beda kok sama enaknya dengan yang saya makan setiap tahun. 

Jadi kenapa mie jorok? Joroknya karena bisa dibilang, dilihat dari penampakan peralatan makan si bapak penjual, peralatan makan yang disajikan itu sangat dekil dan tampak berkerak, rasanya kotoran di sana sudah bersarang bertahun-tahun sehingga susah untuk dicuci.

Jijik ya?? hahaha Bayangkan saja kalian memasukan sendok itu ke mulut, mungkin ada rasa lain diluar rasa mie karena bercampur dengan karat dan kotoran dari sendok. Tapi tenang, mamaku juga gak kalah niatnya, demi makan mie crueg nan bersih, dia selalu membawa peralatan makan sendiri dari rumah seperti piring, sendok bahkan membawa kecap pribadi dan tak lupa minuman teh sendiri yang dia siapkan pagi-pagi sebelum berangkat ke Semarang.

Dulu sewaktu saya masih SD, mie itu dijual oleh bapak tua pakai pikulan. Kalian tau pikulan gak? Pikulan itu semacan gerobak tapi tidak beroda dan berbentuk seperti timbangan, jadi penjual harus berjalan dan memanggul atau memakul dagangan mereka dengan satu bahu. Karena dilakukan dengan cara memakul maka orang Jawa menyebutnya pikulan.



Jaman itu, si bapak tua selalu berjualan di depan sebuah rumah kecil, yang tidak jelas betul rumah itu berpenghuni atau tidak, yang jelas setiap tahunnya kita ke sana, rumah itu selalu berpenampilan cantik dan rupawan. Rumah itu mempunyai teras yang bersih dan selalu dilengkapi dengan
kursi kuno santai dan sebuah kebun kecil berisi pepohonan yang cukup rindang untuk digunakan sang bapak berteduh sambil berjualan dibawahnya. Penampilan rumah itu, seolah selalu menawarkan siapa saja yang mau menikmati teras asri tersebut secara cuma-cuma dengan pintu gerbangnya yang selalu terbuka lebar. Jadi setiap tahunya, layaknya rumah kedua, kami selalu menikmati teras asri tersebut sambil menikmati mie crueg si bapak.

Biasanya kami makan mie crueg sambil mengobrol santai, apa saja kita obrolin. Jaman itu kami semua masi bersekolah jadi topik yang dibahas masih sekitar cerita-cerita tentang seputar sekolah dari teman-teman yang asik, guru yang menyebalkan, hukuman yang kita dapat, lalu lalu rencana liburan yang akan kita lakukan, dan bercandaan sana sini sampai topik asal yang bisa kami jadikan bahan untuk lelucon.

Tapi beberapa tahun setelah kurang lebih saya kelas 6 SD, bapak tua itu sudah tidak berjualan lagi di depan rumah kedua kami, mungkin beliau sudah meninggal. Jadi kami mencari mie crueg lain yang sampai saat ini, kami menjadi pelanggan setianya setiap tahun. Beda dengan bapak pikulan sebelumnya, kali ini bapak yang berjualan di depan RS. Telogorejo tampil lebih modern karena sudah menggunakan gerobag, dari penampilan dan penyajiannya dia lebih bersih dan rasanya juga lebih enak. Tapi kebiasaan mama membawa perlengkapan makan pribadi serta kecap dan minuman teh dari rumah juga tak pernah hilang sampai sekarang, katanya sih antisipasi supaya kita tidak terkena hepatitis. Apapun itu, yang terpenting kita bisa makan enak sambil ngobrol sana sini J


Terlepas dari cerita itu semua, karena tahun ini aku gak bisa pulang ke rumah. Aku menjadi semakin menyadari, mungkin bukan kelezatan mie crueg itu yang selalu membuatku menunggu Lebaran tiba, tetapi moment kebersamaan itulah yang selalu membuatku kangen dan terus ingin mengulangnya setiap tahun. Rasanya Lebaran sedikit ada yang kurang jika tak melakukan kebiasaan itu.

Moment dimana kami sekeluarga, setelah terpencar dan berjuang di kota masing-masing, bisa kembali pulang ke rumah, duduk santai bersama menikmati makanan sambil mengobrol segudang penuh cerita untuk dibagikan tanpa batasan waktu yang jelas. Tak perlu lagi merasa terbeban dan harus diburu-buru saat mengobrol, karena gak ada lagi yang sedang bekerja atau diburu kerjaan. Itulah penambah bumbu kelezatan mie crueg di hari Lebaran.